Kamis, 04 Juli 2013

EKONOMI ORDE BARU

PENDAHULUAN
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat koreksi total atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Baru dalam dua dasawarsa terakhir, sejak permulaan pemerintah Orde Baru tahun 1966, yang sejalan dengan pergeseran pusat perhatian dari masalah pembinaan bangsa ke masalah pembangunan ekonomi, muncul perhatian yang serius untuk menata kembali suatu sistem politik yang diharapkan akan dapat menunjang kegiatan pembangunan ekonomi tersebut. Proses ini semakin jelas ketika negara karena prioritas pembangunan ekonominya yang berorientasi pada pertumbuhan, mengintegrasikan diri ke dalam sistem ekonomi Internasional yang bercorak kapitalis. Dengan demikian pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dan keterikatan Internasional mempunyai signifikansi tertentu dalam memahami karakteristik kepolitikan dan birokrasi di Indonesia.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan GolkarTNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.

KEHIDUPAN MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Pada awal kemerdekan RI pada tahun 1945 adalah masa-masa sulit bagi awal perkembangan ekonomi yang berawal dari kebijakan perekonomian Indonesia yang sederhana sehingga seluruh kepentingan-kepentingan terjadi perlawanan revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan 1945-1949. Dan muncul demokrasi parlementer.
Dengan gagalnya penerapan demokrasi parlementer telah mendorong lahirnya jenis tawaran baru demokrasi yang dikenal “demokrasi terpimpin”. Sistem politik didukung oleh militer pada periode berikutnya.
Sejak percobaan kudeta Gerakan 30 September 1965 yang lebih dikenal Gestapu, kekuasaan Presiden Soekarno semakin melemah. Pada bulan Maret 1967, MPRS mendengarkan Pertanggungjawaban Soekarno yang telah ditetapkan sebagai Presiden Seumur Hidup. (Taufik Abdullah, 2003, 104)
Dengan pidato diberi Nawaksara, yang berati sembilan pokok masalah, yang berkaitan dengan Gestapu justru tidak disinggung dalam pidato itu. Karena masalah krusial itu tidak disinggung Nawaksara, maka MPRS meminta presiden melengkapinya. Soekarno memenuhi tuntutan itu, tetapi masalah Gestapu tetap misterius seakan melepas tanggung jawab terhadap tragedi kudeta.
Sementara pihak ABRI mengadakan pendekatan penyelesaian kepada presiden untuk menyelesaikan konflik, dan harus menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto sehingga muncul Surat Perintah Sebelas Maret ataupun dikenal SUPERSEMAR.

PEREKONOMIAN ORDE BARU
Naiknya Soeharto ke pentas nasional tidak dapat dilepaskan dari demonstrasi mahasiswa dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura),[1] dan jawaban persiden Soekarno hanya menyempurnakan kabinet yang dikenal “Seratus Menteri”. Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto untuk bertindak atas nama pemerintah memecahkan masalah-masalah keamanan dan memulihkan keadaan.
Dalam sidang MPRS terpilihnya AH Nasution sebagai ketuanya, sehingga mengizinkan Soeharto membentuk kabinet baru yang dipimpin oleh presidium yang terdiri Soeharto sebagai ketua, Adam Malik Menteri Luar Negeri dan Sultan Hamengkubuwono IX Menko Urusan Ekonomi sebagai anggota.
Pada masa Orde Baru, Pembangunan: Antara Harapan dan Kenyataan akan mendorong Soeharto harus membawa Orde Baru ke arah dua jalur, yaitu komitmen menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen serta melaksanakan pembangunan ekonomi. Jika pembangunan ekonomi dapat dijalankan dengan baik, maka pembangunan bangsa secara keseluruhan dapat dilakukan. (Soeharto, 1989, 232)
Pasang surut perekonomian adalah suatu hal yang alamiah, bahkan seolah menjadi salah satu karakteristik atau sifat dari perekonomian pasar. Gerak konjungtur suatu perekonomian dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti psikologi optimisme dan pesimisme pelaku ekonomi baik sektor swasta, sektor rumah tangga, sektor pemerintah maupun sektor luar negeri. (Mahmud Thoha, 1998, 135)
Pertumbuhan ekonomi tinggi atau gelombang pasang terkadang dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang relatif lama (misal 5 tahun, 10 tahun atau bahkan lebih), tetapi seringkali hanya dapat bertahan dalam jangka waktu yang relatif singkat kemudian mengalami gelombang surut. Gelombang surut tersebut bisa terjadi karena faktor internal maupun ekternal. Faktor internal dapat berupa kebijakan pemerintah seperti “tight money policy”, kebijakan surplus anggaran, atau kebijakan fiskal dan investasi yang bersifat kontraktif. Faktor eksternal, yakni faktor-faktor yang berada diluar kendali pemerintah, seperti penurunan harga minyak bumi, kegagalan panen karena musim kemarau yang panjang atau serangan hama, dan resesi ekonomi dari negara-negara yang menjadi mitra dagang utama. Faktor-faktor ekonomi tersebut, baik internal maupun eksternal, baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan dapat mempengaruhi gerak gelombang pasang surut suatu perekonomian. (Mahmud Thoha, 1998, 137)
Dalam suatu perekonomian terbuka seperti sekarang ini, (Mahmud Thoha, 1998, 137) kondisi dan perkembangan perekonomian suatu negara sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama pasar yang didominasi dan dikendalikan oleh para pelaku ekonomi di negara-negara maju. Selain itu ketidakberesan dan ketidakmampuan pemerintah dalam menangani permasalahan-permasalahan sosial, politik dan keamanan di dalam negeri merupakan sinyal negatif bagi pasar, yang diwujudkan dalam bentuk penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG), dan melemahnya kurs mata uang domestik.
Melalui kebijakan ekspansif, kecenderungan menurunnya kegiatan ekonomi tersebut dapat dibangkitkan kembali. Tetapi bila faktor non-ekonomi yang menjadi sebab utama dari kontraksi perekonomian tersebut, maka kebijakan fiskal dan moneter bisa tumpul atau tidak mampu mendongkrak kembali perekonomian yang sedang merosot. Dalam situasi ekonomi seperti ini maka tidak ada resep ekonomi yang mujarab untuk mengobatinya, karena krisis ekonomi telah berubah menjadi krisis multidimensi dan multiaspek. Oleh karena itu, permasalahan dan isu utam yang ingin dijawab adalah faktor-faktor apa saja yang dapat menjelaskan terjadinya konjungtur ekonomi, terutama krisis ekonomi yang mengakibatkan jatuhnya Orde Baru.

KEBIJAKAN EKONOMI ORDE BARU
Periode 1969-1982
Akar permasalahan krisis ekonomi dapat ditelusuri dari serangkaian kebijakan strategis yang diambil pemerintah Orde Baru sejak memegang tampuk pemerintahan tahun 1968. Kebijakan fiskal yang bersifat strategis adalah perubahan sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari “deficit budget” menjadi “balance budget” yaitu melalui sestem anggaran defisit, pemerintah Orde Lama berupaya menutup kesenjangan negatif antara penerimaan dan pengeluaran negara dengan mencetak uang baru. Kebijakan seperti ini tidak dapat dihindarkan karena pada satu sisi penyelesaian masalah-masalah politik memerlukan dana yang sangat besar, seperti biaya operasional untuk mengatasi berbagai peristiwa. Belajar dari kegagalan Orde Lama dalam pengelolaan ekonomi nasional maka beberapa kebijakan strategis yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah sebagai berikut (Emil Salim, 2000): (Mahmud Thoha, 1998, 238-239)
1.      Membangun kembali infrastruktur ekonomi yang rusak (jalan, pelabuhan, listrik, irigasi, dll.)
2.      Pengendalian inflasi melalui kebijakan “balanced budget” atau APBN seimbang dengan cara menutup defisit anggaran melalui pinjaman luar negeri
3.      Membuka kembali peran ekonomi terhadap Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
4.      Pencukupan kebutuhan pangan, dengan menggabungkan kebijaksanaan produksi dengan harga dan operasi cadangan (bufferstock operation)
5.      Pencukupan kebutuhan sandang
6.      Peningkatan kegiatan ekspor dengan mengembalikan share eksportir sepenuhnya.
Dampak langsung dari penerapan kebijakan APBN seimbang dan serangkaian kebijaksanaan tersebut adalah bahwa tingkat inflasi dapat dikendalikan pada tingkat dua digit.[2] Konsistensi dalam mempertahankan kebijakan APBN seimbang ini mengakibatkan pemerintah Orde Baru berhasil mempertahankan tingkat inflasi rata-rata di bawah 10% per tahun. Tercapainya stabilitas politik dan keamanan serta terkendalinya tingkat inflasi, telah memungkinkan bagi pemerintah untuk meletakkan landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi. Pembukaan kembali perekonomian Indonesia bagi PMA dan PMDN serta dengan dukungan negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI (InterGovermental Group on Indonesia) yang diketuai oleh pemerintah Belanda dan dilanjutkan dengan CGI (Consultative Group on Indonesia) yang diketuai Bank Dunia merupakan faktor penting yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi, yakni sekitar 7,2% per tahun selama Orde Baru.

Periode 1983-1997
Kebijakan Deregulasi dan Liberalisasi Perbankan
Tonggak penting lainnya dalam kebijakan ekonomi Orde Baru adalah kebijakan deregulasi perbankan 1983. Pemerintah (Bank Indonesia) tidak lagi campur tangan dalam penentuan suku bunga bank, melainkan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Kebijakan ini dapat dianggap sebagai salah satu tonggak penting di dalam pemerintahan Orde Baru. Sebelum dikeluarkannya kebijakan deregulasi perbankan tahun 1983, suku bunga bank-bank pemerintah ditentukan oleh bank sentral. Bank Sentral juga menentukan besarnya alokasi kredit yang disalurkan ke sektor-sektor produksi sesuai dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan pemerintah melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).
Penentuan suku bunga oleh Bank Sentral tersebut tentu saja ditetapkan dibawah tingkat bunga pasar dengan pertimbangan untuk merangsang investasi, yang selanjutnya diharapkan dapat menggerakkan roda perekonomian dan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Alokasi kredit pada sektor ekonomi dengan berharap dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, kebijakan moneter menekankan suku bunga bank-bank pemerintah pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga pasar (bank swasta) secara teoritis maupun empiris cenderung menekan jumlah tabungan masyarakat di lembaga perbankan. Suku bunga riil (suku bunga nominal dikurangi tingkat inflasi) yang rendah tidak mendorong masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank. Akibatnya dana masyarakat yang dapt dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan (melalui kredit bank) juga tidak optimal. Dengan demikian kebijakan suku bunga rendah yang semula untuk merangsang investasi, dalam kenyataannya bisa terhambat karena kelangkaan dana investasi itu sendiri. Oleh karena itu kebijakan deregulasi perbankan yang dikeluarkan melalui paket kebijakan Juni 1983 (PAKJUN 1983) merupakan tonggak penting dalam sejarah kebijakan ekonomi Orde Baru karena pemerintah melapaskan kendali dalam penentuan suku bunga kepada mekanisme pasar.
Melalui kebijakan tersebut, bank pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapakan suku bunga secara mandiri. Dampak nyata secara langsung dari kebijakan tersebut adalah meningkatnya suku bunga perbankan, karena setiap bank bersaing dalam memperebutkan dana masyarakat yang terbatas. Persaingan tersebut semakin ketat dengan dikeluarkannya kebijakan liberalisasi perbankan melalui Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988). Melalui kebijakan ini pemerintah memberikan kemudahan dan keleluasan bagi sektor swasta nasional untuk mendirikan bank baru atau memperluas cabang bank diseluruh tanah air. Dampak langsung dari PAKTO 1988 adalah semakin banyaknya jumlah bank nasional maupun kantor cabang bank-bank asing di kota-kota besar. Demikian pula Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bermunculan di berbagai kota dan kecamatan dalam jumlah sangat besar. Akibat selanjutnya semakin bertambah sengitnya persaingan antar bank dalam memperebutkan dana masyarakat. Posisi pasar dana yang demikian mengakibatkan suku bunga bertambah tinggi.
Deregulasi perbankan 1983 dan liberalisasi perbankan 1988 yang menjadi bibit terjadinya krisis ekonomi saat ini, dengan alasan bahwa meningkatnya suku bunga pinjaman rupiah telah mengakibatkan banyak pelaku ekonomi melakukan pinjaman dalam bentuk valuta asing, terutama dolar AS, dengan pertimbangan bahwa tingkat bunga riil pinjaman dalam US$ masih lebih rendah dibandingkan dalam rupiah. Dorongan untuk melakukan pinjaman asing oleh sektor swasta ini bertambah besar dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 39 Tahun 1991 yang memberikan kebebasan kepada swasta untuk melakukan pinjaman keuangan pada bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan internasional dengan kewajiban yang sangat ringan yaitu hanya melaporkan pelaksanaannya kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
Kebijakan-kebijakan strategis di bidang perbankan tersebut mempunyai beberapa titik lemah, adalah sebagai berikut: Pertama, Kebiasaan bank-bank pemerintah menyalurkan kredit berdasarkan petunjuk dan pengarahan dari Bank Sentral dan intervensi dari orang-orang kuat telah mengakibatkan mandulnya studi kelayakan kredit secara rasional. Kedua, Deregulasi sektor moneter tidak didahului oleh deregulasi sektor riil atau penataan struktur pasar terutama dalam bentuk Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.[3] Akibatnya, peluang usaha dan kredit lebih banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha kelas kakap dibandingkan dengan pengusaha kelas menengah, kecil dan gurem. Dari segi resiko bagi pihak bank untuk mengucurkan kredit dalam jumlah besar kepada beberapa pengusaha kakap daripada melayani kredit kecil dan mikro kepada sejumlah besar pengusaha kecil dan menengah. Ketiga, budya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam birokrasi sangat kuat, sehingga tugas pengawasan dari Bank Sentral terhadap bank umum tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Kebijakan Hutang Luar Negeri
Hipeinflasi yang diwariskan oleh pemerintah Orde Lama tampaknya merupakan peristiwa traumatik yang ingin dilupakan untuk selama-lamanya bagi pemerintah Orde Baru. Solusinya adalah kebijakan fiskal defisit yang ditutup dengan pinjaman luar negeri, bukan dengan mencetak uang baru. Kebijakan ini tidak akan menimbulkan inflasi, karena meskipun pinjaman luar negeri tetap akan menambah jumlah uang yang beredar (melalui penambahan uang rupiah sebesar nilai lawan perolehan divisa yang berasal dari pinjaman luar negeri), tetapi dalam waktu bersamaan pinjaman luar negeri tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengimpor komoditi sehingga tercapai keseimbangan di antara jumlah barang dan jumlah uang yang beredar. Hutang luar negeri akan menjadi masalah bila penggunaannya tidak benar atau secara ekonomis tidak efisien. Masalah juga muncul bila hutang luar negeri telah jatuh tempo dalam jumlah yang sangat besar, di luar batas kemampuan negara untuk membayarnya.
Di dalam GBHN yang dikeluarkan MPR setiap lima tahun, selalu disebutkan bahwa pada prinsip hutang luar negeri bersifat pelengkap dalam pembiayaan pembangunan. Dalam kenyataannya jumlah hutang luar negeri pemerintah dari tahun ke tahun bukannya menurun melainkan bertambah besar, dan dalam beberapa tahun terakhir telah berada di atas ambang batas aman. Dilihat dari besarnya pinjaman baru atau besarnya angsuran pokok pinjaman plus bunga yang harus dibayar tampaknya Indonesia telah masuk dalam perangkap hutang luar negeri, karena pinjaman yang baru digunakan untuk membiayai hutang lama yang telah jatuh tempo.
Perkembangan pinjaman Luar Negeri Indonesia mengalami peningkatan cukup tinggi sejak 1993 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998.  Dalam rangka pemulihan kepercayaan perbankan internasional, telah dilakukan berbagai upaya serangkaian negosiasi antara delegasi Indonesia dengan pihak perbankan dalam berbagai forum seperti pertemuan New York, Tokyo dan Frankfurt selama bulan April hingga Juni 1998. Serangkaian pertemuan tersebut pada dasarnya untuk merundingkan kerangka dasar penyelesaian utang perbankan, trade finance dan utang perusahaan swasta Indonesia. Dalam berbagai pertemuan tersebut selain dihadiri oleh delegasi Indonesia dan Steering Committe Perbankan Internasional juga dihadiri oleh perwakilan dari IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB).

Sistem Kurs Devisa
Kurs mata uang negara-negara Asia Tenggara dimulai dengan jatuhnya mata uang Baht Thailand pada bulan Juni 1997, diikuti dengan Peso Filipina, Dolar Singapura dan Ringgit Malaysia, akhirnya pada bulan Juli 1997 Indonesia mulai terkena wabah efek domino dari krisis moneter internasional negara-negara tetangga tersebut. Begitu dahsyatnya wabah tersebut sehingga sejak bulan Oktober 1997 pemerintah tidak mampu lagi mempertahankan sistem kurs devisa mengambang terkendali yang dianut selama ini.
Lebih dari 2 abad yang lalu, ahli ekonomi modern Adam Smith telah mengemukakan kekuatan mekanisme pasar sebagai pengatur dan pengendali lalu lintas perekonomian. Melalui proses tarik-menarik antara kekuatan permintaan dan penawaran, secara otomatis perekonomian akan mengarah pada efisiensi dan kemakmuran, sehingga secara ekstrem dikemukakan bahwa pemerintah tidak perlu campur tangan dalam perekonomian, kecuali dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani oleh sektor swasta, yaitu melaksanakan peradilan dan pertahanan/keamanan serta menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta seperti jalan, jembatan, waduk dan sebagainya. Secara implisit hal itu juga mengandung makna bahwa pemerintah tidak perlu campur tangan dalam mengatur kurs devisa. Jatuhnya Uni Soviet sebagai negara utama penganut paham sosialis-komunis pada akhir dasawarsa 1980-an dan bergesernya sistem perekonomian RRC dari perencanaan terpusat ke perekonomian pasar merupakan bukti-bukti paling kuat dari kebenaran Adam Smith yang secara singkat dapat dinyatakan bahwa pemerintah tidak akan pernah mampu mengatur perekonomian secara lebih baik.

Dari Multiple Exchange Rate ke Fixed Exchange Rate ke Managed Flooating Exchange Rate
Ketidakpercayaan pemerintah (Indonesia) terhadap keampuhan mekanisme pasar dapat dilihat dari sistem kurs devisa yang dianut, pada kenyataan langkanya jumlah devisa yang dimiliki, pemerintah Orde Lama mengambil sikap untuk menganut sistem pengawasan devisa. Artinya, pemerintah perlu mengawasi penggunaan devisa agar dapat dimanfaatkan untuk transaksi yang benar-benar sesuai dengan prioritas program pemerintah saat itu, yang secara operasional dilakukan dengan menggunakan lisensi atau surat izin impor. Guna mencapai sasaran tersebut pemerintah melakukan alokasi devisa pada berbagai tingkat kurs. Devisa yang digunakan untuk mengimpor barang-barang yang mempunyai prioritas tinggi (versi pemerintah) dapat dibeli dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan impor barang-barang dengan prioritas yang lebih rendah. Meskipun demikian, sistem ini mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya adalah diperlukan administrasi untuk mengoperasionalkannya, dan munculnya pasar devisa gelap. Selain itu, sistem ini juga mendudukkan birokrat pada posisi yang sangat kuat dibandingkan dengan importir sehingga godaan terhadap kolusi, korupsi dan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang sangat besar.
Menyadari akan kelemahan tersebut, pemerintah Orde Baru mulai melepaskan pengawasan devisa dan penganut sistem devisa bebas serta mengganti multiple exchange rate system menjadi fixed exchange rate. Dengan sistem kurs devisa tetap, pemerintah menetapkan kurs sebesar Rp 415,- US dolar berlaku 1971. Resikonya adalah bahwa pemerintah perlu mempertahankan tingkat kurs tersebut dengan cara mensuplai devisa bila kurs pasar lebih tinggi daripada kurs yang ditetapkan pemerintah. Sebaliknya pemerintah akan membeli devisa (dengan rupiah) bila kurs pasar lebih rendah dari floor price yang ditetapkan (meskipun ini tidak pernah terjadi). Krisis Pertamina tahun 1975 telah mengakibatkan terkurasnya cadangan devisa, sehingga pemerintah pada tahun 1978 merasa perlu untuk mengisi kendali devisanya dengan melakukan devaluasi dari Rp 415,- menjadi Rp 625,- per US dolar. Kemudian resesi ekonomi dunia telah memaksa pemerintah untuk melakukan devaluasi lagi sebesar 28% pada tahun 1983, dan terakhir terjadi devaluasi lagi tahun 1986. Pengamat ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo mengemukakan pendapat bahwa pemerintah tidak akan melakukan devaluasi mengingat bahwa cadangan davisa pada waktu itu cukup untuk memenuhi kebutuhan impor selama 5-6 bulan.
Sejak dikeluarkannya devaluasi 1986, pemerintah melepaskan sistem kurs devisa tetap dan menganut sistem kurs devisa mengambang terkendali. Dengan sistem yang baru ini kurs devisa diserahkan pada kekuatan pasar tetapi pemerintah akan campur tangan bila fluktuasi kurs pasar melewati rentang kendali yang ditetapkan. Sejak itu pula pemerintah merasa tidak perlu lagi mempertahankan kurs divisa riil dengan melakukan devaluasi secara dadakan melainkan secara rutin sekitar 5% per tahun, sampai akhirnya digoncang oleh krisis moneter internasional.

Ambruknya Sistem Kurs Devisa Mengambang Terkendali
Salah satu kelemahan dasar dari sistem kurs devisa mmengambang terkendali adalah diperlukannya cadangan devisa yang cukup besar untuk intervensi pasar agar depresiasi mata uang domestik tidak lebih besar dari target yang diinginkan. Prasyaratnya adalah fundamental ekonomi harus cukup kuat. Ditinjau dari aspek cadangan devisa, fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya memang belum cukup kuat. Dibandingkan dengan tahun 1986, cadangan devisa secara absolut memang meningkat yaitu dari sekitar US $ 7 miliar menjadi US$ 21 miliar tahun 1997. Namun demikian secara kualitatif cadangan devisa hanya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan impor, tidak hanya itu melainkan juga membayar bunga dan cicilan pokok pinjaman hutang luar negeri baik pemerintah maupun swasta yang sudah jatuh tempo.
Pemerintah sebenarnya telah berusaha untuk mempertahankan sistem kurs devisa mengambang terkendali dengan berbagai macam cara, antara lain dengan meningktkan suku bunga SBI agar kelebihan likuiditas bank umum dapat disedot oleh Bank Sentral. Selain itu, juga memperketat likuiditas moneter dan menarik dana perusahaan-perusahaan milik negara pada bank-bank umum dengan tujuan untuk memperlemah kemampuan dan mencegah masyarakat untuk berspekulasi. Pemerintah juga memperlebar rentang intervensi kurs dengan maksud agar cadangan devisa tidak habis dipakaiuntuk intervensi pasar dalam rangka menghambat laju depresiasi rupiah. Upaya untuk memperkuat fundamental ekonomi itu identik dengan pembangunan itu sendiri yang memerlukan kesabaran, keuletan dan kepiawaian serta komitmen yang kuat untuk mewujudkannya dalam jangka waktu yang lama. Perwujudan tersebut dapat dipercepat seiring dengan kemauan dan kemampuan pemerintah untuk mengurangi dan secara bertahap mengahapuskan berbagai bentuk distorsi ekonomi terutama monopoli dan berbagai bentuk kekuasaan pasar lainnya serta ketidakefisienan birokrasi pemerintah.

KESIMPULAN
Keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan masa Demokrasi Terpimpin, pemerintah menempuh cara : Mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan. Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Stabilisasi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Sedangkan rehabilitasi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Program Stabilisasi dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Hasilnya bertolak belakang dengan perbaikan inflasi sebab harga bahan kebutuhan pokok melonjak namun inflasi berhasil dibendung (pada tahun akhir 1967- awal 1968), Sesudah kabinet Pembangunan dibentuk pada bulan Juli 1968 berdasarkan Tap MPRS No.XLI/MPRS/1968, kebijakan ekonomi pemerintah dialihkan pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu kestabilan ekonomi nasional relatif tercapai sebab sejak 1969 kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing dapat diatasi. Program Rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama 10 tahun mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana ekonomi dan sosial. Lembaga perkreditan desa, gerakan koprasi, perbankan disalah gunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun dan perbaikan tata hidup masyarakat.
Dilakukan pembagunan nasional pada masa Orde Baru dengan tujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut:
1.      Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.      Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3.      Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dampak Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
·         Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnyapun dapat terlihat secara konkrit.
·         Indonesia mengubah status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).
·         Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.
·         Penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin meningkat.
Dampak Negatif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
·         Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam
·         Perbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.
·         Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial)
·         Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
·         Pembagunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.
·         Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
·         Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh.
·         Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilahh yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997.
Perwujudan tersebut dapat dipercepat seiring dengan kemauan dan kemampuan pemerintah untuk mengurangi dan secara bertahap mengahapuskan berbagai bentuk distorsi ekonomi terutama monopoli dan berbagai bentuk kekuasaan pasar lainnya serta ketidakefisienan birokrasi pemerintah.
Berkat stabilitas politik dan keamanan yang mantap dan kebijakan-kebijakan ekonomi makro yang cenderung pro-pasar, maka prestasi pembangunan ekonomi pemerintahan Orde Baru dapat dikatakan sangat berhasil ditinjau dari tinggi laju pertumbuhan eknomi, terkendali laju inflasi dan menurunnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank nasional sebagaimana terlihat dari adanya penarikan dana secara besar-besaran dari bank-bank yang dianggap kurang sehat ke bank-bank lainnya dianggap lebih sehat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed), Krisis Masa Kini dan Orde Baru (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003)
Harian Pelita 22 November 2012
Santoso, Priyo Budi, Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Sruktural (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997)
Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1989)
Thoha, Mahmud, Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT terhadap Industri Kecil (Jakarta: UI-Press, 1998)




                [1] Tritura: Turunkan harga, Bubarkan kabinet yang terlibat Gerakan 30 September, Bubarkan PKI dan Ormas-ormasnya
                [2] Laju inflasi dapat ditekan dari 650% (1966) menjadi 100% (1967), 50% (1968), dan 13% (1969).
                [3] Secara teoritis urutan kebijakan deregulasi yang benar adalah sektor riil, kemudian sektor moneter, dan akhirnya sektor “capital account” atau kepemilikan devisa secara bebas. Urutan kebijakan deregulasi di Indonesia bertolak belakang dengan kerangka teoritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar